SENJA DI KOTA SERIBU PURA || Gejurdite
Dulu Aku bermimpi berada di kota ini. Aku sulit membedakan mimpi sebagai kenyataan. Aku mengira mimpi adalah pertanda. Ternyata banyak orang yang demikian. Bahkan tak sedikit yang mengira, mimpi adalah realita. Pengalaman bermimpi sama seperti pengalaman berpikir. Kita membangun gambaran, konsep dan cerita di kepala kita, lalu mengiranya sebagai nyata.
Sewaktu Aku menginjak kaki di kota ini, aku merasa ada sesuatu yang berbeda dengan mimpi yang pernah ada. Sedikit Aku merasa Kota ini biasa saja, Dalam hatiku berkata “Aku sedikit benci dengan kota namun , seiring melajunya waktu, pendapatku berubah. Ternyata Bali hidup dengan budaya yang melekat erat dalam jiwa. Orangnya ramah dan tidak buruk. Aku jatuh cinta pada kota Bali. Dalam banyak aspek, Bali adalah sebagai kota yang nyaman sebagai tempat tinggal dan membangun keluarga.
Bali atau orang menyebutnya Kota Seribu Pura. Salah satu kota pariwisata yang dikenal banyak orang, warga kota yang penuh toleransi, banyak orang asing jatuh cinta pada Kota Bali. Disini Sebagian besar orang menganut Agama Hindu, lantaran kenapa dijuluki Kota Seribu Pura. Setiap gerbang rumah warga akan selalu ada dengan pura, tempat mereka menaruh sesajian dan berdoa pada Dewa Shiva.
Bagi orang Bali budaya asing takakan memengaruhi budaya lokal.Orang yang berkunjung harus mengikuti tata cara orang lokal. Pesona alam yang masih amat perawan serta dukungan sumber daya manusia, yang semakin meningkat daya tarik tersendiri. Disetiap Desa Adat memiliki aturan main tersendiri, percikan ombak yang pecah dibibir pantai dan sejuknya angin menyihir hati agar jauh lebih nyaman, sejuknya sore hari bersamaan dengan senja yang terkesan resah dan cemas mungkin sedang terjalin koneksi yang sangat dalam dengan alam Bali.
Berkelakar dengan ombak, menikmati minuman bir di pinggir pantai, mengunjungi tempat wisata yang memiliki kearifan lokal tentunya mengatasnamai sejarah budaya, menapakan kaki disekitar tebing tinggi, melihat orang asing yang dengan keseimbangan tubuh menari diatas papan selancar, ikut tersenyum melihat canda dan gurau setiap pedagang kaki lima, mengikuti hiburan malam di pantai Kuta sebagai tempat melepas penat, mendengar teriakan para pemburu rupiah “hello, any trip tomorrow, Nasi jinggo adalah makanan khas yang ekonomis cukup untuk menunda rasa lapar, tuak liuh yang membikin kepala sedikit puyeng, minuman atk (alkohol) dengan satu botol seribu cerita.
Bali atau Kota Seribu Pura, yang katanya setiap pemisahan air dan tanah disebut Nusa (Nusa Dua, Nusa Penida, Nusa Lembongan). Disini Aku orang asing yang sedang mencari persinggahan, mencari tempat ternyaman, kumasuki lorongmu layaknya seorang remaja yang sedang jatuh cinta. Hiruk pikuk kota yang tidak terlepas dari kreatif anak mudah, cerita remaja serta canda dan tawa orang tua.
Mungkin kalian yang pernah mengunjungi kota ini, menikmati keindahan kota, atau mungkin kalian hanya dengar cerita saja bahwa kota ini. berhati nyaman. Aku menyebut Bali adalah peristiwa dimana setiap pengunjung yang datang memiliki nostalgia dan sensasi yang individual. Setelah sekian purnama berada di kota ini sikapku berubah, pengalaman hidup bertambah banyak. Kesan dan pengalaman yang mengubah sikap dan hidupku.
Senja itu kala langit dibuat merah jingga oleh fajar yang hendak beranjak menuju malam.Antara sosok seorang saya dengan senja yang terkesan resah dan cemas mungkin sedang terjalin koneksi yang sangat dalam. Bersenandung ria di bawah kolong langit.
Tentang harapan, cita-cita yang tersematkan pada dinding langit senja. Bersamaan langit jingga di Kota Seribu Pura, berusaha mengaksarakan suasana hati dan pikiran, meski ada kisah pilu membunuh sukma, terlebih dikala senja mulai menebar resah.
Bali dan cakrawala yang indah, para gadis menari diatas alam Merah Putih. Sungguh senyuman yang mudah dicerna, menyapa dan menghormati setiap individu yang berkunjung. senja yang sempurna, sebungkus jinggo dan lagu cinta dari Harmonia (band terkenal di Bali). Adakah yang lebih indah dari itu? Seperti sepasang badan yang memandu kasih, duduk dipunggung senja, berpotong percakapan dan berjuta tawa timpas lalu meminta kepastian. Ya, tentang cinta. Begitulah Bali dan senja sore hari, layaknya sepasang badan yang masih setengah baya mengenal cinta.
By:Egost Nantur
Komentar
Posting Komentar