Ruteng - Elar. Membangun Harapan Bersama Diatas Jalan Berlubang
Salam hangat dari Saya untuk penikmat tulisan ini. Semoga kita semua tetap cukup agar bisa tetap hidup dibawah langit pandemi ini,dan semoga tetap tumbuh walau dunia sedang dalam keadaan gaduh. Sudah sekian purnama masyarakat Kita menikmati jalan berlubang, sembari berharap akan suatu perubahan.
Bagi masyarakat Manggarai, melihat mobil seperti ini tidak heran lagi. Namun untuk orang diluar Manggarai bahkan Flores pada umumnya akan tercengang melihat moda transportasi yang satu ini. Harapan Bersama merupakan nama mobil kayu yang sudah sekian purnama berlabuh diatas jalan berlubang route Ruteng-Elar. Mulai dari produk ragasa hingga sekarang mitsubishi canter, nama mobil kayu ini tidak pernah berubah, warna catnya juga demikian. Entahlah, mungkin ada alasan tersendiri dari pemilik moda transportasi ini. Oleh karena kondisi infrastruktur jalan serta topografi yang ada di Manggarai, mobil kayu tetap eksis ditengah jenis mobil baru dipasaran. Mobil kayu memberikan kenyamanan bagi penumpang, mobil kayu menciptakan kemudahan sebab selain mengangkut penumpang, mobil kayu bisa juga mangangkut komoditi seperti kopi, cengkeh, kemiri dan lain sebagainya yang dimiliki masyarakatnya Elar dan sekitarnya untuk kemudian dijual kepada baba(sebutan pebisnis bagi orang Tionghoa).
Dulu semasa SMA, Saya seringkali menumpangi mobil kayu ketika hendak mudik. Oleh karena om sopirnya Saya kenal, nyaman ketika hujan,bisa mendengar musik, tiketnya murah serta tidak menyimpan gengsi sama sekali Saya lebih memilih menumpangi mobil kayu ketimbang motor yang bayarannya mahal amat untuk anak sekolahan. Ruteng menuju Elar merupakan perjalan yang cukup jauh, melewati banyak kampung sehingga demikian yang menumpangi mobil Harapan Bersama ini bukan hanya orang Elar saja. Menariknya ketika menumpangi mobil kayu, dalam perjalanan selalu diiringi musik yang merdu hingga membujuk mata kita untuk tidur, meski demikian jalan berlubang selalu mengganggu kenyamanan mata untuk tetap tidur.
Dulu Saya pernah jatuh cinta dalam “oto kol”(mobil kayu).
Perjalanan dimulai dari terminal carep. Setelah sekian menit menunggu di
terminal carep, Kami siap berlabuh “asa penumpang poli siap taung ko? Kud
lako oto hoo ge”(bagaimana penumpang sudah siapa semua? Sebentar lagi Kita
star) begitu sopir menanyakan seluruh penumpang. Setelah 5 menit mesin
mobil di-star, sopir mulai memutar audio sedangkan Saya melempar senyum
pada seorang wanita yang cukup manja pada zamannya. Sepanjang perjalanan dari
terminal carep menuju Mano mobil yang Kami tumpangi berlaju agak cepat karena
jalur yang Kami lalui adalah jalur provinsi, tentu kondisi jalan sangatlah
bagus. Dengan kondisi jalan yang bagus, Saya hanya bisa menanyakan nama wanita
yang sukar mengurai rambutnya ketika dihadapan laki-laki. Dia tersipu malu
sambil menyebut namanya. Saya enggan menyebutkan namanya disini.
Setelah melewati Mano, sopir mulai menurunkan laju mobil meski demikian musik tetap stabil. Sedikit sirik sebab sopir tidak mengerti ada Saya yang sedang pedekate dengan wanita yang hendak menumpangi mobil Harapan Bersama dengan Saya. Laju mobil semakin lambat, bahan bicara saya semakin banyak,senyum wanita itu semakin sempurna dimata Saya. Saya mampu menghadirkan canda dan tawa ditengah keheningan yang ada. Lagu yang dipasang oleh sopir terdiri dari beberapa genre. Mencakupi hip hop,dj , lagu Ambon, dangdut, pop indo, lagu manggarai. Tentu setiap musik selalu ada penikmatnya tak luput juga yang tidak suka. Melewati “puar lewe” (hutan alam) sopir memutar lagu Ambon (lagu patah hati. Seakan menceritakan ada seorang yang ditinggal pergi tanpa permisi). “Mbore noang sopir emo pasang dere sedih le” (sopir, tolong jangan pasang lagu sedih)begitu teriakan seorang penumpang asli dari Elar. Seketika lagu diganti. Om sopir tidak ambil pusing meskipun jalan berlubang, Dia masih dibawah santai mengemudi,oleh karena jalan berlubang barang penumpang jatuh, sedangkan Saya dan wanita yang enggan disebutkan namanya makin mepet. Kami mendengar musik sambil menikmati keadaan jalan yang rusak parah. Sepanjang hutan alam sopir mematikan musik, tanpa musikpun penumpang tetap bergoyang karena jalanan yang berlubang. Ditengah keheningan Saya bertanya dengan semua penumpang “kira-kira apa maslah utama daerah kita tertinggal jauh ketimbang daerah lainnya?”. Dari sudut depan ada seorang yang menjawab “infrastruktur jalan” jalan adalah maslah paling utama terhadap lajunya ekonomi di Manggarai Timur. Jarak tempuh yang sebenarnya tidak makan banyak waktu menjadi lama oleh karena jalan berlubang sehingga perputaran uang agak lambat. Sayangnya sekian kali sudah Kita ganti pemimpin tapi tidak ada perubahannya, sia- sia saja pesta demokrasi, seandainya Saya waktu pemilihan itu golput, mungkin Saya tidak menghakimi pemerintah. Suara sangat keras dari sudut kiri belakang.
Kita sebaiknya jangan terus terusan menyalahkan pemerintah kalau boleh introspeksi diri, suara itu terdengar jelas didepan Saya oleh seorang yang menggunakan jaket bertuliskan ASN. Mbore pemerintah yang buta mata, dikasih gaji buta oleh negara. Niat Saya ingin menutupi perdebatan dengan pernyataan Menjadi sopir di Manggarai itu cukup susah namun patut diacungkan jempol oleh karena nyali mereka yang tinggi. Sesampainya di pertigaan Benteng Jawa Perdebatan selesai, Saya kembali lagi berbincang dengan wanita yang enggan Saya sebut namanya. Saling tanya jawab adalah hal yang biasa bagi siapa saja yang dalam fase pedekate, termasuk pemimpin juga pernah melakukan pedekate sebelum pencoblosan.
Berusaha menciptakan kenyamanan saat berlabuh diatas jalan berlubang. Saya berhasil mendapatkan hatinya, Diapun jatuh dalam sandaran Saya. Saya relakan pundak sebagai tempat yang nyaman untuk bersandar. Seketika ada seorang yang mengejek Saya “kamu menang banyak dalam mudik kali ini, ada orang yang bersandar dibahumu tapi lebih nyaman lagi kalau Kita yang bersandar pada pemerintah lalu pemerintah menjawab dengan kerja nyata. Mendekati area Colol wangian bunga kopi yang hendak mekar mengalahkan wangi parfum wanita yang Saya kenal dalam mobil kayu.
Setibanya di Colol,
wanita itu turun dari mobil sembari memberikan akun medianya pada Saya sekalian
nomor hp. Nana sampai ketemu dilain waktu. Saya menjawab “iya enu
jangan sampai bikin patah hati seperti penumpang mobil ini, banyak yang patah
hati oleh karena janji manis”. Saya tahu Colol penghasil kopi, tentu Orang
Tua wanita itu petani kopi. Bapaknya seringkali menanam kopi sedangkan Saya
siap menanam rindu. Tentu rindu ini menggebu layaknya merindukan pemimpin yang
merakyat.
Wanita itu turun di Colol, Saya melanjutkan perjalanan
sampai di Wangkar. Sejak saat itu juga Saya dan Dia membangun “harapan
bersama”
Penulis: Egost Nantur
Mantap tulisan ini egos, saya suka. Ada canda tawa, suka duka, dan juga koreksi terhadap pemerintah yg tdk mengalokasikan anggaran yg banyak utk rehap jalan berlubang.
BalasHapus