Katak Sawah Sebagai Lauk Anak Kampung
Dulu Saya masih kanak kanak, yang belum bisa apa apa selain merengek pada orang tua, minta itu minta ini, padahal orang tua kesana kesini mengais rejeki. Saya masih diajarkan oleh Orang Tua menyanyikan lagu balonku ada 5. Masih suka memakai baju saja, sedangkan celana dilepas, lalu ditinggal pergi layaknya kekasih yang salah memahami isi hati. Ehem ehem kok curhat yaaa.
Saya sebagai anak kecil yang imut, terkiut, ganteng juga tidak, jelek iya! Tapi tidak jelek amat, seringkali digemesin oleh anak gadis di Kampung Saya kala itu. Kadang saat menjumpai Saya tidak bercelana, Mereka yang menawarkan Saya untuk memakai celana sembari berkata “nanti perkututmu di cotok ayam betina”. Hahahahahaha. Seandainya itu terjadi saat usia Saya begini, sapa mau help? Yang ada Saya tambah Hahahahahaha
Ketika bersua dengan Saya, Mereka selalu mengucapkan salam sapa sambil cipiki cipika. Oh Noo, betapa bahagianya saya kala itu. Kadang Mereka baku rebut Menggendong Saya. Ahhh sudalah, basa basi cukup sampai disini kita lanjut lagi, Ok! Saya sampai saat ini masih membayangkan bagaimana orangtua saya membahagiakan diri ini dengan segala kekurangan mereka dan segala keterbatasan cara berpikir.
Sebagai pribadi yang selain merasakan kenikmatan masa kecil, Saya sering merasakan kesakitan fisik dan perasaan oleh orang tua. Sederhana saja, Saya anak kecil kala itu belum bisa apa-apa, yang ada bisa minta semuanya dan samau maunya. Ujung – ujungnya dipukul karena Orang Tua tidak bisa apa apa untuk menjawab permintaan Saya.Setelah sekian lama menebar air mata Saya di gendong, lalu tidur. Tidak seperti anak kecil sekarang yang butuh bunyi mesin motor baru tidur, tunggu musik baru bobo manis.
Terlahir sebagai anak kampung yang jauh dari kebisingan kota, yang tidak melihat kepulan asap industri, yang tidak merasakan hiruk pikuk hidup di kota, Saya patut bersyukur walaupun hidup di Kampung sederhana apa adanya,makan seadanya. Hidup di Kampung pendapatan setiap orang tidak pasti. Semuanya bergantung pada alam dan kerja keras. Banyak menanam maka banyak pula menuai, begitu sebaliknya bagi para pemalas.Hidup penuh toleransi, gotong royong, semuanya terlihat indah ketika melihat senyuman yang manja ditengah keakraban nan bening.
Tidak ada lain yang terus diingat saat ini, ketika sudah berada jauh dengan orang tua, melangkah dari kampung halaman yaitu “katak sawah sebagai lauk anak kampung”.
Sawah bukan hanya tempat untuk padi bisa hidup, terdapat makhluk lain yang menaungi tempat ini. Yang orang sering menyebutnya “ekosistem sawah”diantara luasnya persawahan yang hijau, menyimpan kekayaan lain tersendiri yaitu katak sawah. Bukan gurami, bukan cumi-cumi, melainkan katak di sawah yang pas untuk anak kampung. Selepas senja dibalik gunung, angin yang amat terasa menjemput gelapnya malam, suara katak mulai terdengar manja di telinga. Ngkreng Ngkreng Ngkreng. Kurang dan lebih begitu kalau dituliskan. Katak ketika melihat terang lampu, maka mereka berdiam diri. Dan pada saat itu juga kesempatan bagi para pemburu katak sawah untuk mendapatkan katak. Bagi anak kampung seperti Saya, lauk yang enak dan mudah didapat adalah katak. Rasanya yang khas, wanginya saat dimanajakan oleh minyak panas diatas wajan menggugah selera dan menambah rasa lapar. Cihuuy.
Bukan terasi, bukan masako, bukan lagi tepung saji, cukup garam, sedikit micin lalu digoreng, Setelahnya disantap. Tidak tanggung-tanggung 4 ekor katak yang sudah di goreng, menghabiskan 2 piring nasi dan satu piring sayur ubi. Adakah yang lebih indah dari itu? Layaknya pizza santapan anak manja di kota, yang penuh penyedap rasa. Bagi Saya lauk yang pas cukup katak sawah sebab itu saja yang mengingatkan saya bagaimana cara orang tua saya membahagiakan saya dikala usia belia.
Maka dari pada itu marilah kita menikmati anggur merah yang cap orang tua, untuk mengagumi perjuangan orang tua ehhh salah.
Maksud Saya marilah kita membawa nama orang tua dalam doa untuk mengagumi perjuangan Mereka.
By:Egost Nantur
Komentar
Posting Komentar